- Back to Home »
- Responding Paper »
- Responding Paper Jainisme
Posted by : Unknown
Senin, 10 Juni 2013
Jainisme (bahasa Sanskerta: जैनधर्म - Jainadharma, bahasa Tamil: சமணம் - Samaṇam) adalah
sebuah agama dharma. Jaina bermakna penaklukan. Agama Jaina bermakna agama
penaklukan. Dimaksudkan penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup
manusiawi. Agama Jaina itu dibangun oleh Nataputta
Vardhamana, hidup pada 559-527 sM
yang beroleh panggilan Mahavira yang berarti pahlawan besar.
Agama Jaina lahir lebih dahulu daripada agama Buddha. Agama Buddha punya pengikut lebih luas di luar India, namun agama Jaina terbatas
hanya di India saja. Kedua agama tersebut merupakan reaksi terhadap perikeadaan
di dalam agama Hindu mengenai perkembangan ajarannya pada masa lampau.
Dewasa ini ada lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka terutama
ditemukan di India. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk golongan menengah
ke atas. Agama Jaina itu mewariskan bangunan-bangunan kuil yang amat terkenal
keindahan arsitekturnya di India dan senantiasa dikunjungi wisatawan.
Kitab suci di dalam agama Jaina adalah Siddhanta. Kitab ini terdiri atas beberapa himpunan. Himpunan pertama terdiri atas
dua belas buah Angas atau bab, namun Angas keduabelas
telah lenyap, tidak dijumpai sampai sekarang.
jaina artinya `penakluk spiritual` orang yang telah berhasil
menaklukkan keinginan kenginannya. sekalipun pengikutnya sangat sedikit
dibandingkan penduduk india agama ini masih eksis dengan pengikut pengikutnya
yang terpencar diberbagai wilayah.
Sejarah
Asal mula
ajaran ini diperkirakan sudah ada pada zaman prasejarah india. Orang-orang
pengikut jaina `Jainisme` mempercayai dengan adanya 24 Tirthankkara atau
pendiri keyakinan dari mana keyakinan dan agama jaina diturunkan dan
berkembang. Menurut tradisi jaina, Tirthangkara pertama
adalah Rsabhadevayang merupakan pendiri jainisme dan
terakhir adalah mahavira, pahlawan spiritual besar yang
namanya juga adalah “vardhamana”. Mahavira, nabi terakhir
tidak bisa dipandang sebagai pendiri, karena sebelum beliau ajaran-ajaran jaina
telah ada. Tetapi mahavira memberikan orientasi baru sehingga jaina moderen
menganggap ajaran jaina berasal dari mahavira. Ia hidup pada abad ke enam
sebelum masehi se-zaman dengan budha.
Ajaran ini
menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya terhadap konsep
ahimsa. Di katakan oleh para sarjana, konsep ahimsa inilah yang banyak
mempengaruhi ajaran-ajaran berikutnya, seperti Buddha, bhagadgita, dan
sebagainya. Menurut tradisi jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak
zaman pra-sejarah diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu
generasi kegenerasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran
jaina ini berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthangkara atau
penyebar keyakinan dan yang telah mendapat pencerahan.
Epsitemologi
Dalam aspek
epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka bahwa persepsi
hanyalah satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika kita menolak
kemungkinan memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi dan testimoni orang
lain, kita semestinya meragukan validitas persepsi, karena sekalipun persepsi
kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal carvaka sendiri memakai inferensi
(anumana) ketika mengatakan bahwa semua inferensi adalah invalid, dan juga
ketika mereka menolak eksistensi objek-objek karena mereka tidak dilihat.
Disamplng persepsi, jaina menerima inferensi dan testimony (sabda) sebagai
sumber pengatahuan valid. Inferensi menberikan pengetahuan valid ketika ia
mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat. Testimoni valid ketika ia merupakan
laporan otoritas terpercaya. Atas otoritas ajaran-ajaran orang-orang sucu yang
telah terbebaskan (jaina atau tirthankara) orang-orang pengikut ajaran ini
mendapatkan pengetahuan yang benar yang tidak dapat diperoleh oleh orang yang
masih terbatas. Testimoni Tirthankara ini tidak diragukan lagi ke-validan-nya.
Jaina
mengklasifikasikan pengetahuan menjadi, pengetahuan langsung (aparoksa) dan
pengetahuan antara (paroksa). Pengetahuan langsung lebih lanjut lagi dibagi
lagi menjadi avadhi, manahparyaya dan kepala; dan pengetahuan antara menjadi
mati dan sruta. Mati mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial. Sruta
berarti pengetahuan yang diambil dari otoritas. Avadhi-jnana,
manahparyaya-jnana, dan kevala-jnana merupakan tiga jenis pengetahuan langsung
yang bisa dikatakan sebagai persepsi ekstra biasa dan ekstra sensori avadhi
adalah kemampuan melihat hal-hal yang tidak Nampak oleh indra; manahparyaya
adalah telepathi; dan kevala adalah kemahatahuan. Disamping kelima pengetahuan
benar tersebut diatas, ada juga tiga pengetahuan salah, yaitu samshaya atau keragu-raguan,
viparyaya atau kesalahan dan anandhyavasaya atau pengetahuan salah melalui
kesamaan.
Pengetahuan
lagi dibagi menjadi dua jenis, yaitu pramana atau pengetahuan tentang suatu
benda seperti apa adanya, dan naya atau pengetahuan tentang suatu benda didalam
hubungannya dengan yang lainnya. Naya berarti titik pandang atau pendapat dari
mana kita membuat pernyataan tentang sesuatu . Semua kebenaran adalah relativ
terhadap pandangan kita. Pengetahuan parsial merupakan salah satu aspek yang
takterhitung banyaknya tentang suatu benda disebut “naya” . Terdapat
tujuh naya yang empat pertama adalah artha-naya, kemudian tiga terakhir disebut
sabda-naya.
Jaina percaya
dengan pluralisme roh; terdapat roh-roh sebanyak tubuh hidup yang ada. Tidak
hanya roh dalam binatang, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan dalam debu.
Hal ini juga diterima dalam ilmu pengetahuan moderen. Semua roh tidak secara
sama memilki kesadaran, ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. Semaju
apapun indria-indrinya, roh terbelenggu dalam pengetahuan y6ang terbatas; juga
terbatas dalam tenaga dan mengalami segala jenis penderitaan.Tetapi setiap roh
mampu mencapai kesadaran tak terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka
dihalangi oleh karma, seperti matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat
menyebabkan belenggu roh. Dengan menyingkirkan karma roh dapat memindahkan
belenggu dan mendapatkan kesempurnaan alamiah.
Tiga cara menyingkirkan belenggu, yaitu keyakinan yang sempurna dalam
ajaran-ajaran guru-guru jaina, pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut,
dan perilaku yang benar. Perilaku benar terdiri atas praktek tidak menyakiti
atau melukai seluruh makhluk hidup, menghidari kesalahan, mencuri, sensualitas,
dan kemelakatan objek-objek indriya, mengkombinasikan ketiganya di atas,
perasaan akan dikendalikan dan karma yang membelenggu roh akan disingkirkan.
Lalu, roh mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas, pengetahuan tak
terbatas, dan kebahagian yang tak terbatas. Inilah keadaan miksa menurut ajaran
jaina. Hal ini telah dibukatikan oleh guru-guru dalam tradisi jaina atau
Tirthankara. Mereka memperlihatkan jalan menuju moksa.
Metafisika
Di dalam aspek
metafisikanya, jainisme mengambil posisi realistik dan pluralism relativistik.
Ia disebut atau doktrin pluralistik realitas. Material dan spirit dipandang
sebagai realitas-realitas yang independen dan terpisah. Terdapat atom-atom
material yang tak terhitung jumlahnya dan roh-roh individu aspek-aspek dirinya
yang juga tak terhitung jumlahnya. Sebuah benda mempunyai karakteristik yang
tak hingga jumlahnya . setiap objek mempunyai karakter positif dan negative
yang tak terhitung jumahnya. Adalah tak mungkin bagi manusia biasa untuk
mengetahui semuanya itu. Kita hanya tahu sebagian kecil saja. Oleh karena itu,
jainisme mengatakan ia yang mengetahui semua sifat benda di dalam satu
benda, mengetahui semua sifat semua benda, dan ia mengetahui semua sifat semua
benda. Mengatahui senua sifat di dalam satu benda. Pengetahuan manusia, dengan
melihat kapasitasnya yang terbatas , ia adalah relativ dan terbatas dan
semuanya merupakan keputusan kita. Teori logika dan epistemologi Ajaran jaina
ini disebut “syadvada”. Baik anekantavada maupun syadvada merupakan dua aspek
dari ajaranyang sama –realistik dan prulalistik relativistik. Sisi metafisikanya
bahwa realitas mempunyai karakter yang tak terhitung jumlahnya disebut
anekantavada, sementara pandangan logika dan epistemologinya bahwa kita hanya
dapat mengetahui beberapa aspek saja dari suatu realitas di dunia dan oleh
karena itu keputusan-keputusan kita bersifat relativ, maka ia disebut syadvada
dan ada tujuh golongannya:
1. syadasti:secara
relative, sebuah benda riil.
2. Syannasti:secara
relative, sebuah benda tidak riil.
3. Syadasti
nasty:secara relative, sebuah benda keduanya riil dan tidak riil.
4. Syadavaktavyam:secara
relative, sebuah benda tak bisadijelaskan.
5. Syadasti
cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda riil dan tidak bisadijelaskan.
6. Syannasti
cha avaktavyam:secara relative, sebuah benda tidak riil dan tidak dapat di jelaskan.
7. Syadasti
cha nasty cha avaktavyam: secara relative, sebuah bendarill, tidak riil dan
tidak bisa dijelaskan.
Masyarakat
jainisme terdiri atas pendeta, biara dan orang kebanyakan. Hanya ada lima
disiplin spiritual didalam jainisme. Di dalam kasus kependetaan disiplin ini
benar-baner ketat, kaku dan sangat fanatik. Sementara dalam kasus orang umum
hal itu bisa di modifikasi. Kelima sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta),
sementara bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’ (anu-vrta). Kelima sumpah
tersebut adalah (1) ahimsa (non kekerasan), (2) satya (kebenaran di dalam
pikiran), (3) asteya (tidak mencuri), (4) brahmacharya (berpantang dari
pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan maupun perbuatan), dan (5) aparigraha
(ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan prbuatan). Dalam halo rang umum,
aturan ini bisa di modifikasi dan disederhanakan.
Seperti
buddhisme, jainisme adalah sebuah agama yang tidak mempercayai adanya tuhan,
menolak veda oleh karena itu disebut nastika. Tetapi, jaina menekankan pada
aspek etika dn spiritual.
Simpati kepada
semua makhluk hidup adalah salah satu ajaran utama jaina. Jaina juga
menghormati semua jenis pemikiran. System ini menunjukkan bahwa setiap objek mempunyai
aspek-aspek yang tak terbatas yang ditentukan oleh dirinya sendiri dan bukan
dari luar dirinyasendiri atau dari pandangan yang berbeda. Semua keputusan
benar terhadap suatu benda sepanjang berhubungan dengan benda tersebut.
Mengingat keterbatasan pikiran, tidak ada satu pikiran berlaku benar bagi semua
benda atau hal. Kita harus belajar menjaga dan memprtahankan pikiran kita
masing-masing dengan cara menghormati kemungkinan benar pendapat atau pemikiran
orang lain.
Sedangkan
Karma adalah pengikat yang menggabungkan roh dengan
tubuh. Keyakinan yang benar, perbuatan yang benar, pengetahuan yang benar
membentuk jalan yanga benar untuk mencapai pembebasan yang merupakan efek dari
ketiganya tadi. Ketiganya ini merupakan triratna (tiga permata) bagi jainisme.
Sekte
Didalam
perkembangannya, jainisme pecah menjadi dua sekte, yaitu swetambara atau (yang
berpakaian putih) dan dirgambara atau (yang berpakaian langit). Perbedaannya
adalah hanya dalam beberapadetail ajaran dan praktek agama yanga bersifat minoritas.
Secara fundamental tidak ada perbedaannya. Pecahnya menjadi dua sekte tersebut
tidak berpengaruh kepada jainisme yang esensial. Dirgambara lebih keras dan
sangat fanatik, sementara swetambara lebih akomodatif. Aturan agar berpakaian
putih atau telanjang bulat hanya berlaku bagi pendeta tertinggi dan bukan untuk
orang kebanyakan; tidak juga bagi pendeta yang rendah. Menurut swetambara,
pendeta tertinggi harus mengenakan jubah putih, sementara menurut dirganbara,
mereka harus tidak mengenakan kain secarikpun. Menurut sekte dirgambara mereka
harus mempertahankan hidup pertapa yang sempurna, tidur hanya tiga jam sehari,
makan dari meminta-minta, susah waktunya untuk belajar dan mengajar, dari
wanita tidak dapat mencapai pembebasan: sementara swetambara menolak pandangan
ini. Kehidupan kependetaan dirgambara sangat keras dan ketat didalam hal
disiplin. Karenanya pengikutnya sangat kecil jumlahnya.